Di Satchel, kami berbicara banyak tentang budaya seperti apa yang ingin kami bangun. Seiring pertumbuhan tim kami, saya merenungkan apa yang sebenarnya membuat perbedaan dalam kepemimpinan—terutama di sekolah. Ini lebih dari sekedar tinjauan kinerja atau check-in manajemen lini. Ini tentang menciptakan budaya di mana kesalahan adalah bagian dari pembelajaran, di mana keputusan diambil berdasarkan kepercayaan, dan di mana pemimpin memberikan teladan empati, integritas, dan keberanian.
Refleksi itu membawa saya kembali ke satu momen penting di awal karir mengajar saya—sebuah pengalaman yang tidak hanya membentuk cara saya memandang kepemimpinan, namun juga cara saya berusaha untuk memimpin saat ini.
Peluang yang Mengubah Segalanya
Baru saja menyelesaikan tahun NQT saya di Northumberland Park Community School, saya melamar peran Direktur E-learning di Henry Compton School. Saya tidak berharap untuk mendapatkan pekerjaan itu—setiap kandidat memiliki lebih banyak pengalaman, dan saya bisa dibilang menjadi yang termuda di ruangan itu. Tapi aku punya ide. Saya punya visi. Dan saya memiliki keinginan yang mendalam untuk membuat perbedaan.
Yang mengejutkan saya, kepala sekolah saat itu, Pak Ramjee, menawari saya pekerjaan itu. Ini adalah langkah berani—yang dilakukan meskipun ada penolakan dari staf senior dan bahkan seorang gubernur. Namun dia melihat sesuatu dalam diri saya dan bersedia mengambil risiko. Tindakan keyakinan itu mengubah arah karier saya.
Memimpin Dari Ujung Terdalam
Tantangan datang dengan cepat. Hasil TIK sangat buruk, hanya pada kisaran 20%. Kurikulumnya membosankan—pada dasarnya adalah kursus kilat di Microsoft Office. Budaya sekolah seputar teknologi ditentukan oleh pintu yang terkunci dan kurangnya kepercayaan pada siswa. Jelas bahwa segala sesuatunya harus berubah.
Saya mulai dengan hal mendasar: membangun kepercayaan dan menetapkan ekspektasi. Saya mengadakan pertemuan untuk setiap kelompok tahun, memaparkan rencana saya untuk mengubah TIK menjadi sesuatu yang menarik dan relevan. Saya memperkenalkan kontrak untuk siswa dan orang tua, meluncurkan sistem tiket perbaikan untuk staf, dan mendirikan meja bantuan yang dipimpin oleh siswa. Laboratorium pada jam makan siang dibuka—hanya dengan dua aturan: tidak boleh makan atau minum, dan siapa yang datang lebih dulu dilayani.
Itu adalah kerja keras. Staf pengelola lini, menulis ulang kurikulum, dan mengelola strategi TIK sekolah—semuanya dalam waktu satu tahun setelah NQT saya—sangat melelahkan. Saya kelelahan dan, kadang-kadang, hampir berhenti.
Seperti Apa Kepemimpinan yang Efektif
Tapi saya tidak berhenti. Itu karena Pak Ramjee tidak hanya menawari saya pekerjaan itu—dia juga menawarkan dukungan. Kepemimpinannya konsisten, manusiawi, dan strategis. Dia melatih saya melewati hari-hari sulit dan mengingatkan saya bahwa setiap pemimpin mencapai batas kemampuannya pada suatu saat.
Dia memberi saya ruang untuk gagal—dan untuk berhasil. Dia membantu saya merenung dan mengkalibrasi ulang. Dia memperjelas ekspektasinya, dan memuji saya di depan umum bahkan ketika orang lain meragukan keputusannya untuk mempekerjakan saya. Dia mendorong saya untuk tegar saat dibutuhkan, tetapi selalu dengan empati.
Pendekatannya mengajarkan saya bahwa kepemimpinan yang hebat bukanlah tentang kendali. Ini tentang perancah—menetapkan struktur yang memungkinkan orang lain untuk tumbuh. Eksekusinya mungkin datang dari individu, tapi dukungan di balik layarlah yang memastikan mereka tidak terpuruk di bawah tekanan.
Pelajaran Kepemimpinan untuk Sekolah
Jadi apa artinya ini bagi para pemimpin sekolah saat ini? Pada intinya, kepemimpinan sekolah adalah tentang menciptakan kondisi agar orang lain dapat berkembang. Berikut lima strategi yang saya ambil dari pengalaman tersebut—strategi yang saya yakini dapat mendorong perubahan berarti di sekolah mana pun:
1. Rekrut untuk Potensi, Bukan Sekadar Pengalaman
Terkadang orang yang tepat di atas kertas bukanlah orang yang tepat untuk sekolah Anda. Carilah gairah, kejelasan tujuan, dan pola pikir berkembang. Ambillah risiko saat Anda merasa cocok—meskipun orang lain tidak melihatnya.
2. Pelatih, Jangan Sekadar Mengelola
Kepemimpinan bukanlah tentang memperbaiki orang—melainkan tentang membimbing mereka. Gunakan pengalaman Anda untuk melatih tim Anda melalui tantangan daripada mengkritik hasil. Check-in harus bersifat perkembangan, bukan menghakimi.
3. Menormalkan Kegagalan dan Resiko
Ciptakan budaya di mana membuat kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Dorong eksperimen dan dukung staf Anda ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana. Kegagalan tidak terlalu menakutkan jika dibagikan dan didukung.
4. Bersikaplah Jelas dan Penuh Kasih
Komunikasikan ekspektasi dengan sangat jelas, tetapi lakukan dengan kasih sayang. Bersikap jujur mengenai hal-hal yang perlu ditingkatkan akan lebih mudah didengar jika orang yang menyampaikannya benar-benar peduli.
5. Bangun Kepercayaan Melalui Tindakan
Kepercayaan dibangun dari apa yang Anda lakukan, bukan dari apa yang Anda katakan. Bersikaplah konsisten, tetap terbuka, dan tunjukkan kepada tim Anda bahwa Anda mendukung mereka—bahkan ketika keadaan tidak berjalan baik. Inilah yang mengubah kepatuhan menjadi komitmen.
Budaya Dimulai dengan Kepemimpinan
Setiap sekolah berbicara tentang budaya. Namun kenyataannya, budaya sekolah tidak tertulis dalam sebuah kebijakan—budaya tersebut diwujudkan melalui kepemimpinan. Begitulah perasaan tim Anda saat mereka masuk ke ruang staf. Betapa amannya mereka ketika meminta bantuan atau mengakui bahwa mereka sedang berjuang. Itu adalah nada yang Anda atur ketika seseorang melakukan kesalahan.
Dan ini bukan hanya tentang membantu individu tumbuh. Ini tentang retensi, rekrutmen, inovasi, dan pada akhirnya, hasil yang lebih baik bagi siswa. Karena ketika guru merasa aman, didukung, dan diperhatikan, mereka akan lebih mampu melakukan hal yang sama terhadap siswa yang mereka asuh.
Melihat ke Depan
Sekarang, saat saya memimpin tim saya sendiri, saya sering merenungkan pelajaran awal tersebut. Saya mencoba menyebarkannya—dengan memberi orang lain ruang untuk memimpin, dengan tetap mudah didekati, dan dengan mengingatkan mereka bahwa mereka tidak selalu bisa melakukan hal yang benar. Dan tidak apa-apa.
Empati masih menjadi inti dari semuanya. Itu adalah kualitas yang selalu saya cari saat merekrut. Karena tanpanya, kita tidak benar-benar memimpin—kita hanya mengelola.
Kepemimpinan bukanlah peran yang Anda peroleh—melainkan sesuatu yang Anda kembangkan. Dan pertumbuhan itu tidak pernah selesai.
Pengarang: Naimish Gohiaku
Tanggal Diterbitkan: 26 Mei 2025
Bagaimana Kepemimpinan Sekolah yang Hebat Membentuk Pertumbuhan Guru